Sidang rakyat pembantaian PKI digelar di Belanda, pemerintah gerah



Sidang rakyat pembantaian PKI digelar di Belanda, pemerintah gerah

wap-ryan.blogspot.com - Bertepatan dengan momentum 50 tahun pembantaian jutaan warga karena menjadi anggota maupun dituding simpatisan Partai Komunis Indonesia menjelang runtuhnya Orde Lama, sekelompok pegiat merancang Pengadilan Rakyat. Pengadilan ini siap digelar di Kota Den Haag, Belanda - dengan nama International People's Tribunal (IPT) - pada 10-13 November 2015.
Para pegiat hak asasi manusia dari pelbagai latar belakang meyakini pembantaian dipicu intrik politik Gerakan 30 September 1965 itu sebagai kejahatan kemanusiaan.
Ketua Panitia IPT, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan sekilas kegiatan mereka lebih mirip seminar yang diikuti sejarawan, penyintas pembantaian, eksil politik, maupun saksi ahli. Namun, tak sekadar bincang-bincang ilmiah, IPT serius menghadirkan serangkaian bukti pendukung denbgan tujuan akhir menguak apa yang terjadi di balik pembersihan komunisme 1965.
Forum yang dia gagas bersama pegiat HAM lainnya ini diharapkan menjadi upaya penggabungan bukti ilmiah tentang tragedi 1965 yang banyak tersebar di pelbagai negara.

"Dari segi data sudah banyak dilakukan penelitian, sudah lama juga sejak awal tahun 1971 sampai 2014, ada penelitian lebih detail dari 40 peneliti dan sudah banyak juga yang diterbitkan," kata Nursyahbani saat dihubungi merdeka.com melalui sambungan telepon, Senin (2/11).
Pemerintah tidak merespon positif kegiatan para pegiat hak asasi di Den Haag pekan depan. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan IPT terkesan ingin mengungkit trauma masyarakat yang diklaim telah sembuh seiring waktu.
"Kasus ini sudah kita tutup, jika kita membuka lagi sejarah kelam ini maka sangat banyak yang akan diungkit mulai dari perang dunia ke II," ujarnya saat ditemui terpisah di Pejambon, Jakarta Pusat.
Jubir akrab disapa Tata itu menilai pembantaian 1965 cukup menjadi pelajaran sejarah saja untuk diteladani. Bila IPT fokus mencari celah hukum untuk serius menggugat para pelaku, maka Indonesia dinilainya tidak akan bisa menjadi bangsa besar.
"Kita harus lihat ke depan, kita bangun Indonesia sebagai bangsa yang besar dan peristiwa tersebut menjadi pelajaran buat kita. Sehingga kita bisa dan harus move forward," kata Tata.
Selain Tata, Wakil Ketua DPR Fadli Zon maupun Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah membuat pernyataan terbuka sebelumnya, yang mengatakan pemerintah tidak seharusnya mendukung pengungkapan kembali pembantaian 1965, karena berpotensi menimbulkan konflik baru.
Menanggapi tudingan-tudingan tersebut, Nursyahbani mengatakan timnya berusaha melobi pemerintah sejak beberapa bulan terakhir. Ketua Pengacara IPT 1965, Todung Mulya Lubis, memberitahukan kegiatan di Den Haag kepada Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan. Kegiatan mereka setidaknya memperoleh persetujuan lisan.
Aktivis perempuan yang pernah menjadi anggota DPR RI ini justru mempertanyakan sikap birokrat maupun politikus yang alergi terhadap kegiatan IPT. Sebab, Presiden Joko Widodo tahun lalu mendukung upaya pengungkapan pelanggaran hak asasi berat yang pernah terjadi di Tanah Air.
"Bila ada yang menyebut 'case closed' ini sangat tidak sepaham dengan Nawa Cita Pak Jokowi yang akan mengusut setiap kasus HAM hingga tuntas," kata Nursyahbani.
Dalam proses sidangnya, IPT akan menghadirkan 5 orang saksi ahli dan 10 orang penyintas yang mengalami langsung atas kejahatan kemanusiaan tersebut. Pengadilan rakyat ini juga

menyediakan forum analisa data 1965 dari sudut hukum nasional dan internasionalnya.
"Saksi tersebut nantinya dihadirkan dari berbagai tempat yang berbeda. Mereka bisa dibilang lanjut usia karena mereka mengalami langsung tragedi ini," imbuh Nursyahbani.
Selain mengumpulkan data membawa kasus pembantaian ini ke ranah hukum pidana, IPT sekaligus berusaha meluruskan stigmatisasi atas komunisme. Sebab, selain korban langsung yang dibunuh, istri dan anak yang tidak tahu apa-apa turut menderita karena ikut dicap komunis. Di KTP bekas tahanan politik, ada cap Eks Tapol (ET) membuat seluruh keluarga PKI dipersulit akses ekonominya atau kerap diperlakukan tidak adil di sekolah.
Nursyahbani mengatakan kata 'komunis' adalah fobia khas masyarakat Indonesia, apalagi yang besar di era Orde Baru. Dengan menghapus stigma itu, maka pemerintahan Jokowi dapat lepas dari dosa sejarah pernah melakukan intimidasi maupun kekerasan struktural terhadap keluarga yang menjadi korban pembantaian warisan rezim sebelumnya.
"Ini kerap disalah artikan sebagai permintaan maaf kepada komunis," ungkap pengacara bekas Komisioner KPK, Bambang Widjajanto itu.

Para aktivis yang bergerak di IPT mendapat gagasan menggelar Pengadilan Rakyat ini setelah berdiskusi dengan sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Joshua bekerja sama dengan beberapa sutradara anonim mengungkap pembantaian anggota PKI maupun orang yang dituduh simpatisan di Sumatera Utara.
Dua film itu, "Jagal" dan "Senyap", menuai pujian penonton dunia karena mengungkap kejahatan keji yang tak pernah terekspos sebelumnya. Film-film ini juga menjadi langganan pelarangan oleh militer maupun ormas antikomunisme yang berlatar agama.
Dalam keterangaan tertulisnya, Joshua meyakini pembantaian 1965 adalah titik awal pelanggaran HAM di Indonesia yang langgeng di era Orde Baru maupun reformasi. Karena masyarakat mendiamkan pembantaian komunis, pelanggaran hak asasi berat lain seperti kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis pada 1998 turut dipetieskan.
"Dari situlah rezim ketakutan dan senyap mulai terbentuk. Rakyat trauma, diam, dan terpaksa menerima pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi belakangan," ungkapnya.
Sekadar mengingatkan, pembantaian jutaan orang dianggap berafiliasi dengan PKI pada 1965-1966 adalah

pelanggaran hak asasi paling parah yang terjadi di Indonesia modern.
Semua dipicu oleh pergerakan pasukan Pasopati dari Tjakrabirawa, Brigif I Jaya Sakti dan Batalyon 454/Diponegoro menculik para jenderal yang dianggap berusaha mendongkel Presiden Soekarno, pada malam 30 September 1965. Gerakan pasukan ini dalam tempo 24 jam diserang balik oleh komando militer di bawah pimpinan Soeharto, sebagai pemimpin Kostrad.
Setelah drama penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat itu berakhir, Soeharto secara de facto menguasai pemerintahan. Politbiro PKI disebut aktor intelektual upaya kudeta Soekarno, sesuai hasil sidang Mahkamah Militer Luar Biasa.
PKI dan ideologi komunisme dilarang, lalu anggotanya ditangkapi tanpa pengadilan, setelah Soeharto menerima mandat dari Soekarno yang akrab disebut Supersemar.
Pembantaian atas nama pembersihan anggota PKI oleh pelbagai sumber, termasuk dari pusat data TNI, menelan korban jiwa di kisaran 500.000 hingga 3 juta penduduk. Di luar korban tewas, puluhan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan selama bertahun-tahun di kamp konsentrasi, misalnya Pulau Buru.
Setahun terakhir, upaya ekstra untuk mengungkap fakta sejarah di balik pembantaian 1965 dilakukan banyak pihak. Tak cuma oleh aktivis maupun sejarawan, upaya berdamai dengan masa lalu turut dilakukan oleh warga biasa. Contohnya di Bali.

Pada 29 Oktober lalu, penduduk Banjar Adat Mesean, Desa Pakraman Batuagung, Kabupaten Jembrana, Bali, Kamis (29/10) membongkar kuburan masal eks anggota PKI yang dibantai. Sebanyak sembilan jenazah diketahui sudah hampir 50 tahun dikubur tepat di tengah jalan utama yang menghubungkan desa Batuagung dan Panceseming.
Keluarga korban ingin jasad mereka diperlakukan lebih layak. Harapan keluarga PKI ini disambut baik warga lain yang tidak terkait pembantaian.
"Kita gali yang sudah pasti saja dahulu, tidak perlu berandai-andai. Terpenting kita lakukan upacara pembersihan dan permakluman bilamana ada yang tersisa dan tidak dapat kita temukan," kata Tetua Adat Mesean Ida Bagus Ketut Siwa.

Belum ada Komentar untuk "Sidang rakyat pembantaian PKI digelar di Belanda, pemerintah gerah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel